Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 4025 kali
Prancis
menawarkan film-film horor yang tidak kalah seru dan menegangkan dari
film horor Hollywood. Sutradara Prancis terkenal kreatif dan inovatif
dalam menciptakan kengerian baru di genre horor. French New Wave atau New French Extremity ditandai dengan bergesernya film horor Prancis dari old-fashioned creepy ke sub genre slasher atau perpaduan horror/slasher/thriller, dimana daya tariknya terletak pada kondisi kejiwaan dan perilaku sadistik tokoh antagonis yang mendehumanisasi korbannya.
Bentuk
kekerasan yang ditampilkan juga semakin kontroversial seperti
kanibalisme dan pelanggaran moral. Selain itu, film horor Prancis juga
memiliki keunggulan berupa efek visual yang artistik dan realistik serta
sisipan pesan moral satir atau kritik. Seperti film-film horor Prancis
berikut ini:
Frontier(s) (2008)
Di tengah kekacauan pemilu presiden di Prancis, Alex (Aurélien Wiik), Tom (David Saracino), Farid (Chems Dahmani), Yasmine (Karina Testa) dan Sami (Adel Bencherif)
berencana kabur ke Amsterdam dengan terlebih dahulu merampok bank.
Kehadiran polisi membuat upaya perampokan itu berantakan dan mereka
terpecah. Dalam upaya melarikan diri inilah mereka dihadapkan pada
keluarga psikopat, kanibal, Neo Nazi, pemilik hotel tempat mereka
bermalam. Mampukah mereka menyelamatkan diri dari cengkraman keluarga
‘sakit’ tersebut?
Frontiers atau Les frontières
dalam judul aslinya, berarti perbatasan. Dalam film ini, bukan saja
mereka harus melewati batas wilayah tetapi juga menghadapi “batas”
kesadisan yang ditunjukkan pelaku. Film yang berhasil membangun
ketegangan dari awal hingga akhir cerita ini dipenuhi efek banjir darah
dan smashing torture seperti dalam film horor klasik Texas Chainsaw Massacre. Akting prima para pemain dan efek visual serta make up yang realistik membuat film ini bukan sekadar gore fiesta. Sutradara Xavier Gans
menampilkan Prancis yang gelap, kasar dan anarkis. Pas sekali dengan
konteks sosial politik Prancis tahun 2004 di mana kerusuhan meletus di
daerah pinggiran kota Paris dan meluas ke kota-kota lain.
Dalam ajang Fright Meter Award 2008, Frontiers masuk dalam lima kategori nominasi; Best Supporting Actress, Best Horror Movie, Best Director, Best Screenplay dan Best Makeup. Fright Meter Awards adalah penghargaan tahunan yang diberikan oleh Fright Meter Awards Organization;
sebuah lembaga nirlaba beranggotakan produser, sutradara, aktor,
blogger, fans horor dan lain-lain dengan tujuan mengapresiasi dan
memberi pengakuan bagi pencapaian terbaik film bergenre horor. Di tahun
yang sama film Frontiers dianugrahi Grand Prize of European Fantasy Film in Silver dalam ajang Brussels International Festival of Fantasy Film.
Martyrs (2008)
Perpaduan horor, drama dan misteri diramu sutradara dan penulis naskah, Pascal Laugier dalam film ber-setting Prancis tahun 1970-an ini. Lucie (Mylene Jampanoi)
dihantui trauma masa kecil yang menjadikannya seorang paranoid. Ia
berperilaku aneh dan tak mampu berkomunikasi dengan siapapun kecuali
dengan Anna (Morjana Alaoui) yang juga korban kekerasan
di masa kecil. Apa yang menimpa Lucie di masa kecilnya, menjadi rahasia
besar yang membuat kita penasaran. Film ini banyak menyajikan adegan
kekerasan terhadap perempuan yang bisa mengguncang emosi kita. Dipenuhi torture porn
sepanjang film, Martyrs menyajikan twist yang berlapis. Beberapa adegan
diakhiri dengan kejutan yang menjadi benang merah untuk adegan
berikutnya. Upaya membalas dendam kepada orang-orang yang dulu menculik
dan menyiksanya, mengantarkan Lucie dan Anna pada sebuah perjalanan
yang mengerikan dan menyakitkan, tak hanya secara fisik tetapi juga
emosional. Film yang memenangkan Fright Meter Awards 2009 untuk kategori Best Screenplay dan Best Makeup ini berhasil membangun emosi penonton dan membangkitkan rasa empati pada tokoh-tokohnya.
Inside (2007)
Walau dibuat dengan biaya ekonomis dan setting
minimalis (hanya sebuah rumah dengan tiga kamar), Inside membawa kita
merasakan ketegangan dan kengerian yang intensif selama 78 menit. Alur
cerita sangat sederhana; La femme, seorang psikopat bermodal gunting
yang diperankan Beatrice Dalle, menginginkan bayi yang masih berada dalam kandungan seorang janda bernama Sarah (Alysson Paradis).
Walau penuh adegan brutal dan melampaui batas kemanusiaan, banjir darah
dan potongan tubuh yang berceceran, Inside tidak hanya mengumbar
kesadisan belaka karena naskah dan akting digarap dengan baik. Akting
Beatrice Dalle yang maksimal diganjar Fright Meter Awards 2008 untuk kategori Best Supporting Actress dan film ini pun memenangkan Best Horror Movie.
Livid (2011)
Setelah Inside (2008), duet sutradara Alexandre Bustillo dan Julien Maury kembali bekerja sama untuk Livid (2011). Di awal film kita akan menangkap kesan bahwa Livid menandai kembalinya film horor klasik di mana atmosfer creepy dibangun
perlahan dengan trik sederhana namun sukses membuat jantung copot,
seperti misalnya saat kepala boneka tiba-tiba memutar sendiri. Mirip
dengan Inside, film Livid mengambil setting di dalam rumah
dengan makhluk astral yang mengancam nyawa para pengganggu rumah
tersebut. Dikisahkan dalam film ini, Lucile Klavel (Chloe Coulloud), seorang pengasu ditempatkan di rumah Deborah Jessel (Marie-Claude Pietragalla),
seorang wanita tua misterius yang koma. Setelah mengetahui adanya harta
yang tersembunyi di dalam rumah tua itu, Lucile bersama dua temannya
berupaya mendapatkannya.
Sepertiga awal film ini bisa dikategorikan sebagai creeping fairytale horror
di mana atmosfer mengerikan dibangun perlahan seperti dalam cerita
dongeng. Namun di sepertiga kedua dan menjelang ending, film ini
menunjukkan dirinya bukan sebagai film horor supranatural dengan makhlus
halus seperti dalam Insidious, tetapi justru menampilkan rangkaian gore yang menjadi ciri khas karya Bustillo dan Maury. Terlepas dari ketidaktegasan ini, Livid menyajikan visual, sinematografi dan scoring yang indah dan membawa kita pada pengalaman sinematik yang menyenangkan.
High Tension (2003)
Alex (Cecile de France) dan sahabatnya Marie (Maïwenn)
berniat mengisi akhir pekan mereka untuk mengerjakan tugas kuliah di
rumah Alex di pedalaman Prancis. Namun mereka kedatangan tamu tak
dikenal; seorang pembunuh sadis misterius yang tanpa alasan membantai
seluruh keluarga. Dua gadis ini juga tertangkap dan berusaha melarikan
diri. Alexandre Aja, sutradara sekaligus penulis
skenario, menampilkan alur cerita yang sederhana dan sekilas mudah
ditebak namun ia berhasil membangun ketegangan dan menyisipkan twist di ending
yang tak diduga. Sebagaimana film horor lain, High Tension minim
dialog. Namun, film ini menjadi berbeda berkat kekuatan karakter
tokoh-tokohnya. Akting Cecile de France yang sempurna; raut ketakutan di
wajahnya, ketegangan di sekujur tubuhnya, ritme nafas, kesakitan,
berpadu dengan kemarahan sekaligus keputusasaan yang dilakoni Maïwenn.
Trouble Every Day (2001)
I love you so much I could eat you… Bisa
ditebak, film ini dipenuhi adegan kanibalisme yang dibalut drama
erotis. Dua keluarga dengan dua rahasia gelap yang perlahan diungkap
melalui narasi yang dipenuhi metafora. Tema eksistensialisme dan gender
sangat kuat dalam alur ceritanya. Sutradara Claire Denis
menyajikan film yang mengundang kontroversi besar pada saat dirilis;
sebagian memuji, sebagian lagi mencibir. Film yang dibintangi Vincent Gallo, Tricia Vessey dan Beatrice Dalle ini perpaduan thriller-horor-drama yang sangat dingin dan kelam. Film ini diputar sebagai pembuka Festival Film Cannes tahun 2001.
Possession (1981)
Sebuah film multikultural; diproduksi bersama Prancis-Jerman, digarap oleh sutradara Polandia, Andrzej Zulawski, dibintangi oleh aktor Selandia baru Sam Neil dan aktris Prancis Isabelle Adjani
serta didukung oleh aktor pembantu dari Jerman. Berkat perannya sebagai
Anna dan Helen, dua karakter yang bertolak belakang, Isabelle Adjani
mendapatkan dua penghargaan sebagai Best Actress yaitu dalam ajang Festival Film Cannes 1981 dan Cesar Awards 1982.
Possesion menyajikan alur cerita kompleks namun tetap menarik mengenai
keluarga yang berantakan karena hubungan antar anggotanya yang penuh
kekerasan, kerahasiaan dan hasrat yang dipendam. Setting Jerman
Timur yang pada saat itu masih dipenuhi paranoia, pembungkaman dan
penindasan, sangat pas menjadi latar film. Hal ini juga diperlihatkan
dari bertaburannya makna-makna simbolis yang relevan dengan konteks
sosial politik saat itu. Misalnya, apatisme masyarakat dan memudarnya
keyakinan pada agama.
In My Skin (2002)
Esther (Marina de Van),
menyimpan rahasia yang memilukan. Setelah pengalaman kecelakaan yang
membuat kakinya luka, perlahan tapi pasti ia menjadi penikmat rasa sakit
dan terus melukai tubuhnya sendiri, memutilasi dan bahkan memakan
bagian tubuhnya yang terluka. Dengan gigih ia berusaha menyembunyikan
rahasianya ini dari sang kekasih, Vincent, yang diperankan Laurent Lucas. Perpaduan drama dan horor ini menyajikan dengan sempurna sebuah tema psikologis berupa penyakit mental yang berwujud self-injury
atau menyiksa diri sendiri. In My Skin tidak menampilkan pembunuh
berdarah dingin atau makhluk supranatural tetapi kekerasan destruktif
diri sendiri yang bisa membawa pelakunya pada kematian. Marina de Van
yang juga menjadi sutradara sekaligus penulis naskah berhasil membawa
film ini sebagai Best International Film dalam ajang Fantasia Film Festival 2003.
Dark Touch (2013)
Produser, sutradara dan penulis naskah, Marina de Van,
mengangkat tema supranatural dalam film horornya kali ini. Dark Touch
menceritakan seorang gadis kecil, Neve, yang selamat dari pembunuhan
keji di mana orangtua dan adiknya menjadi korban. Neve mencurigai
sekelompok orang dan rumah kosong dengan segala perabot yang berubah
menjadi hidup itulah sumber penyebabnya. Namun polisi mengabaikan
kecurigaan itu. Neve kemudian dibawa petugas sosial namun ia tidak
menemukan kedamaian di tengah keluarga angkatnya. Bahaya demi bahaya
yang traumatis terus menghampirinya. Sosok Neve dalam film ini cukup
misterius. Kita tidak pernah tahu apakah dirinya korban kekerasan atau
bukan. Ada aura mengerikan, rapuh sekaligus mengundang rasa simpati di
wajahnya. Missy Keating, pemeran Neve, bermain prima
dalam menggambarkan seorang anak yang dirundung masalah dan
menyembunyikan banyak rahasia. Dark Touch bermain-main dengan emosi
penonton dan meninggalkan ruang yang luas bagi interpretasi.
Eyes without a Face (1962)
Karya sutradara Georges Franju ini adalah film horor Prancis terbaik sepanjang masa. Untuk pertama kalinya, Dr. Genessier (Pierre Brasseur)
menjelma sebagai sosok Frankenstein yang bergerilya mencari donor
transplantasi wajah anak perempuannya. Film ini menginspirasi munculnya
tokoh-tokoh jahat serupa dalam film-film horor dunia. Walaupun lulus
dari badan sensor Eropa, film ini awalnya menuai kontroversi karena ide
operasi wajah melalui bedah heterograft pada masa itu belum populer dan
bahkan dianggap imajinasi belaka. Terlebih, dalam film ini digambarkan
bagaimana eksperimen sang dokter bedah selalu gagal dan semua korbannya
mati.
Saksikan film Eyes without a Face dalam gelaran “Paranoit” pada 31 Oktober di Auditorium IFI Thamrin. Bersiaplah untuk menjerit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar